Sistem Islam Solusi Tuntas Atasi Karhutla



Oleh: Sri Purwanti, Amd. KL
Pemerhati Masalah Lingkungan dan Member AMK

Beberapa waktu terakhir kabut asap menyelimuti daerah Kalimantan, Riau dan Jambi akibat kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat terdampak mulai terjangkit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut,  bahkan  dikabarkan ada dua bayi meninggal diduga karena asap.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo mengemukakan kesimpulan bahwa 80 persen lebih lahan yang saat ini terbakar atau sengaja dibakar akan berubah menjadi kebun. Hal itu juga diperkuat dengan adanya temuan sejumlah lahan yang sudah ditanami sama sekali tidak tersentuh api. Sebuah ironi memang, apalagi diduga kebakaran hutan adalah ulah oknum yang sengaja membakar hutan untuk membuka dan membersihkan lahan.

Pembakaran hutan yang menyebabkan kabut asap sangat mempengaruhi kualitas udara di beberapa daerah yang terpapar. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui laman resminya www.bmkg.go.id menempatkan kualitas udara kota  Pekanbaru, Riau dengan kategori berbahaya. Hal ini tak lepas dari kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih menyelimuti wilayah Sumatera.

Dari laman tersebut tercatat konsentrasi PM 10 pukul 12.22 berada di angka 399,41 μgram/m3. Dalam klasifikasi BMKG, konsentrasi PM 10 di atas 350 μgram/m3 sudah dalam kategori berbahaya. Sementara angka normal dari PM 10 harusnya berkisar di angka 0-50 μgram/m3.
Dampak  dari pembakaran ini juga menyebabkan kehidupan normal dan perekonomian masyarakat terganggu, puluhan penerbangan dihentikan, sekolah-sekolah diliburkan, bahkan aktivitas dalam rumah pun kesulitan karena racun asap. Saat ini penderita ISPA tersebar di enam provinsi yang terdampak karhutla yakni di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan data yang diolah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, dari citra satelit terdapat peningkatan hotspot (titik panas) signifikan dalam wilayah izin konsesi korporasi dari bulan Juli 2019. Pada Juli tercatat 42 hotspot, kemudian Agustus naik dengan cepat menjadi 203 hotspot, lebih parahnya lagi pada pekan pertama September 2019 mencapai angka yang begitu besar yakni 117 hotspot.

Dilansir dari CNN Indonesia, (24/9/2019), Koalisi Indonesia Bergerak menyebut bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi selama ini dilakukan secara terorganisasi. Aksi terorganisasi karhutla itu pun dituding telah diketahui pemerintah. Pemerintah kembali gagal melindungi jutaan jiwa dari neraka tahunan keganasan kabut asap, akibat tidak mampu mencegah pembakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut ribuan hektare oleh pemilik hak konsesi.

Sejatinya, sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri inilah yang menyebabkan deretan peristiwa tersebut terjadi. Beberapa gelintir orang dengan mudahnya melakukan tindakan berbahaya demi mewujudkan ambisi  memenuhi pundi-pundi mereka. Hal ini diperparah dengan rancunya konsep kepemilikan terhadap suatu barang (hutan) yang seharusnya pengelolaan serta pemanfaatan hutan tersebut ditangani oleh pemerintah (negara) karena termasuk dalam kepemilikan umum.

Tetapi faktanya, hutan justru dimiliki oleh korporasi atau individu tertentu. Tentu saja pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada si pemilik. Karena menganut prinsip kapitalisme maka ketika membuka lahan, mereka  menggunakan usaha yang cepat dengan pengeluaran dana yang sedikit. Dan cara yang sangat mudah adalah dengan menggunakan api alias membakar hutan dan lahan tersebut.  
Pembakaran Lahan Dalam Pandangan Islam
Menurut Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki, penulis kitab Al-Muntaqa Syarah al-Muwatta`, sebagaimana dikutip dalam menjelaskan sebagai berikut:
أَنَّ ضَرَرَ الْفُرْنِ وَالْحَمَّامِ بِالْجِيرَانِ بِالدُّخَانِ الَّذِي يَدْخُلُ فِي دُورِهِمْ وَيَضُرُّ بِهِمْ وَهُوَ مِنْ الضَّرَرِ الْكَثِيرِ الْمُسْتَدَامِ وَمَا كَانَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ مُنِعَ إحْدَاثُهُ عَلَى مَنْ يَسْتَضِرُّ بِهِ
Artinya: “Dilarang menyalakan tungku dan membuat kamar mandi yang asap (dan baunya) bisa menganggu dan membahayakan tetangga secara permanen. Melakukan aktivitas pembakaran, yang mana asapnya bisa mengganggu dan membahayakan para tetangga, merupakan aktivitas terlarang meskipun membawa maslahat untuk segelintir orang".

Dari sini bisa dipahami bahwa menyalakan tungku saja jika asapnya dapat mengganggu orang lain dilarang apalagi jika yang dibakar adalah hutan atau lahan. Meskipun tujuannya untuk membuka lahan pertanian, pembakaran hutan tetap tidak dibenarkan merujuk pada kaidah fikih berikut:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya: “Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Lahan pertanian memang sangat dibutuhkan masyarakat untuk menunjang perekonomian. Namun, perlu diperhatikan pula dampak buruk akibat pembukaan lahan pertanian. Jangan sampai maksud hati meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan bahkan petaka bagi orang lain.
Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan udara yang segar dan sehat, anak-anak juga berhak untuk melakukan aktivitas sekolah tanpa terganggu oleh asap yang menyesakkan dada. Dan itu semua menjadi tanggung jawab negara sebagai pemimpin sekaligus pengayom masyarakat.
Sistem Islam Solusi Tuntas Atasi Karhutla
"Al-muslimûna syurakâun fî tsalâtsin: fî al-kalâi wa al-mâ`i wa an-nâri." Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang (korporasi). Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas), dan jika tidak ada, maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.

Hutan (baca: padang rumput) memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh masyarakat. Artinya hutan merupakan milik umum dimana manusia berserikat dalam memilikinya.
Hutan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu, ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya, sebab hutan adalah milik mereka secara berserikat. Namun, agar semua  mendapatkan manfaat dari hutan secara adil, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya.
Dengan paradigma tersebut, maka kasus pembakaran hutan dan lahan secara liar akan lebih dapat diminimalisir bahkan bisa ‘nol’ karena masyarakat juga menyadari bahwa hutan adalah milik umum yang harus dijaga kelestariannya. Selain itu, Islam mempunyai sistem peradilan yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan yang dapat membahayakan rakyat, seperti karhutla.
Di dalam sistem peradilan Islam, ada Qadhi Hisbah yaitu hakim yang menangani penyelesaian dalam masalah penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak rakyat seperti gangguan terhadap lingkungan hidup (contoh: karhutla). Vonis dapat dijatuhkan kepada pembakar hutan dan lahan di tempat kejadian perkara, sehingga mampu menimbulkan efek jera dan penebus dosa bagi pelakunya.

Dengan pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum untuk menjaga lingkungan dan sanksi yang tegas bagi pelaku kemaksiatan akan menjadi solusi tuntas Karhutla . Maka sudah selayaknya kita segera hijrah menuju sistem Islam secara kafah.
Wallahu a’lam bish-shawab

Dimuat di Nusantara news dengan judul Sistem Islam Solusi Tuntas Atasi Karhutla, 26/09/2019

Posting Komentar

0 Komentar