Ilusi Toleransi dalam Balutan Moderasi



Oleh. Sri Purwanti, A.Md.K.L.
(Founder Rumah Baca Cahaya Ilmu)

RuangInspirasiBunda.Com--Pada 3-6 September silam Pemimpin Gereja Katolik dunia Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostolik di beberapa wilayah. Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi oleh Paus Fransiskus dalam lawatannya di Asia-Pasifik. Setelah dari Indonesia, ia melanjutkan kunjungan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. 

Selama di Indonesia, Paus Fransiskus serangkaian agenda, yaitu pertemuan dengan Presiden Jokowi, para pejabat dan diplomat, anggota Serikat Jesuit, tokoh agama Kristen, tokoh antaragama, dan umat Katolik dalam acara misa akbar di Gelora Bung Karno. 

Acara misa ini disiarkan secara langsung oleh seluruh televisi nasional. Hal ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas Muslim, tetapi mengapa misa akbar sampai harus disiarkan langsung di seluruh televisi nasional? Bukankah acara yang disiarkan langsung oleh televisi nasional seharusnya adalah acara yang ditonton oleh mayoritas rakyat Indonesia?

Belum lagi adanya surat dari Kementerian Agama kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait penyiaran azan Magrib dan misa akbar bersama Paus Fransiskus. Surat tersebut ternyata berisi dua substansi. Pertama, saran agar misa bersama Paus Fransiskus pada 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00—19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia (Kemenag, 4-9-2024). 
Tentu saja hal ini menimbulkan berbagai reaksi di tengah masyarakat. Andai hal ini disebut toleransi bukankah terlalu berlebihan?

Sebagaimana yang kita ketahui dalam era modern yang penuh dengan kemajuan teknologi, arus informasi yang tidak terbatas, dan interaksi antar-budaya yang semakin intensif, konsep toleransi sering dijadikan landasan untuk menjembatani perbedaan, termasuk dalam hal beragama. Namun, konsep ini kerap disalahartikan dan dijadikan alat untuk menciptakan ilusi moderasi beragama yang berbahaya, terutama bagi akidah seorang Muslim. 

 Memahami Makna Moderasi Beragama

Moderasi beragama sering kali dipromosikan sebagai cara untuk hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pemeluk agama lain. Secara konsep, moderasi bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dengan menghindari sikap ekstrem, baik dalam beragama maupun dalam kehidupan sosial. Namun, dalam praktiknya, moderasi sering terdistorsi menjadi bentuk toleransi yang berlebihan, yang justru dapat menggerus keyakinan seorang Muslim.

Ilusi moderasi ini terwujud ketika seorang Muslim merasa perlu mengkompromikan prinsip-prinsip akidahnya demi menjaga hubungan harmonis dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks ini, toleransi disamakan dengan kerelaan mengabaikan aspek-aspek penting dalam Islam, seperti keyakinan tentang keesaan Allah (tauhid), ketentuan halal-haram, serta prinsip-prinsip syariah yang jelas.

Misalnya, beberapa Muslim mungkin merasa terdorong untuk turut berpartisipasi dalam acara agama lain atau membenarkan praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat Islam atas nama toleransi dan moderasi. Dalam jangka panjang, tindakan semacam ini bisa mengaburkan batasan-batasan yang ditetapkan oleh agama dan melemahkan keteguhan akidah seorang Muslim.

 Bahaya Ilusi Toleransi bagi Akidah

Bahaya terbesar dari ilusi toleransi dalam moderasi beragama adalah pelemahan akidah. Dalam Islam, akidah merupakan fondasi yang menopang seluruh ajaran. Ketika seorang Muslim mulai mengorbankan prinsip-prinsip akidah demi alasan toleransi, maka akar keimanannya akan mulai rapuh. 
Ada beberapa ancaman nyata yang timbul dari sikap seperti ini:

1. Sinkretisme agama
Sinkretisme adalah pencampuran elemen-elemen dari berbagai agama menjadi satu. Ketika seorang Muslim terjebak dalam moderasi yang tidak sesuai dengan prinsip Islam, ia berisiko terjebak dalam sinkretisme. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang merasa tidak apa-apa untuk mengadopsi praktik ibadah agama lain atau menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran yang setara. Pandangan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip tauhid, yang merupakan inti dari keimanan dalam Islam.

2. Munculnya relativisme kebenaran
Ilusi moderasi juga bisa mendorong relativisme kebenaran, di mana seorang Muslim mulai memandang bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam agama. Semua ajaran dianggap sama, dan masing-masing individu bebas memilih mana yang ingin diikuti tanpa ada konsekuensi akidah. Sikap seperti ini dapat menyebabkan seorang Muslim kehilangan keyakinan terhadap kebenaran mutlak ajaran Islam, yang pada akhirnya menghancurkan akidahnya.

3. Mengabaikan batasan syariah
Ketika toleransi yang salah diterapkan, seorang Muslim mungkin tergoda untuk mengabaikan atau meremehkan batasan-batasan syariah. Contohnya, demi menjaga hubungan baik dengan non-Muslim, beberapa orang mungkin merasa wajar untuk menghadiri upacara keagamaan mereka atau bahkan berpartisipasi dalam ritual keagamaan lain. Meskipun niatnya baik, tindakan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam.

Solusi Menurut Syariat Islam

Islam mengajarkan umatnya untuk hidup dalam damai dan menghormati orang lain, termasuk mereka yang berbeda agama. Namun, Islam juga menegaskan bahwa akidah tidak boleh dikompromikan. Oleh karena itu umat Islam harus benar-benar memahami 
 makna tauhid agar tidak mudah tergelincir ke dalam ilusi moderasi yang merusak. Pemahaman yang mendalam tentang tauhid akan membuat seorang Muslim mampu membedakan mana yang termasuk toleransi yang dibolehkan dan mana yang justru membahayakan iman.

Syariat Islam membolehkan seorang Muslim untuk bersikap baik dan adil kepada non-Muslim, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (TQS. Al-Mumtahanah: 8).

Namun, ayat ini tidak berarti bahwa seorang Muslim boleh ikut serta dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Batasan syariah harus tetap dijaga, dan hal ini hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki akidah yang kuat.

Menjaga akidah bukan hanya tanggung jawab individu namun juga kewajiban masyarakat, dan negara sebagai pemegang kebijakan. Setiap individu wajib membekali diri dengan ilmu yang cukup agar benar-benar memahami ajaran agamanya. Sementara itu masyarakat berperan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Dalam lingkungan yang saling mendukung dan mengingatkan dalam kebaikan, seorang Muslim akan lebih mudah untuk mempertahankan akidahnya. Ukhuwah Islamiyah di antara anggota masyarakat juga akan mendorong terjadinya dakwah yang efektif, di mana sesama Muslim saling memperkuat dan menyemangati dalam menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.

Islam memiliki langkah tegas untuk menjaga akidah umat dari rongrongan pihak lain. Islam menjadikan akidah sebagai dasar negaranya. Maka segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, termasuk meminta pertanggung jawaban atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Karena akidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Menurut Islam segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus terpancar dari akidah Islam.

 Negara juga tidak akan tinggal diam terhadap siapa pun yang ingin merusak akidah umat dengan cara apapun. Negara menjadi garda terdepan dalam menjaga akidah seluruh masyarakat. Namun semua itu tentu akan sudah diwujudkan jika negara masih mengadopsi sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan). 

Solusinya tentu harus mencari sistem alternatif yang bisa melindungi akidah seluruh warga negara. Sistem yang berasal dari aturan Sang Pencipta, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Wallahu a'lam bishawab 




Posting Komentar

0 Komentar